Sidoarjo, 2 Juli 2025 — Headlinexpers.com
Jargon “Pendidikan Gratis untuk Semua” tampaknya hanya tinggal slogan kosong di Kabupaten Sidoarjo. Dalam praktik penerimaan siswa baru (SPMB) tahun 2025, baik di jenjang SMP maupun SMA negeri, masyarakat semakin sadar bahwa sekolah negeri bukan lagi milik rakyat kecil, melainkan ladang eksklusif bagi kalangan berduit dan berpengaruh.
Fakta di lapangan menunjukkan indikasi kuat praktik “pat gulipat” uang dan jabatan menjadi kunci utama bagi anak-anak untuk bisa masuk sekolah negeri favorit. Ironis, mengingat sekolah negeri seharusnya menjadi sarana bagi masyarakat tidak mampu untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak dan setara.
Salah satu kasus yang mencuat adalah di SMAN 3 Sidoarjo, tepatnya di Jalan Dr. Wahidin No.130, Sekardangan. Sejumlah wali murid mengaku kecewa dan bingung karena anak mereka, yang tinggal kurang dari 1 kilometer dari sekolah, justru tidak lolos seleksi jalur domisili. Ketika diminta klarifikasi, pihak sekolah justru tutup mulut. Tidak ada penjelasan yang memadai, hanya sikap defensif dan jawaban mengambang dari bagian humas.
“Kalau yang dekat rumah saja ditolak, lalu untuk siapa sekolah negeri ini dibangun? Untuk rakyat atau untuk elit?” keluh seorang wali murid yang datang langsung ke sekolah.
Fenomena serupa juga ditemukan di SMPN 1 Tulangan. Saat tim investigasi mencoba menggali informasi dari seorang guru yang turut menjadi panitia penerimaan siswa, jawaban yang diterima justru mengundang lebih banyak tanya. Ia berdalih bahwa semua sudah “diatur pusat” dan mereka hanya menjalankan sistem. Namun, saat didesak lebih lanjut, muncul kalimat mencurigakan: “Coba sampean ke kepala dinas atau titip ke orang DPRD, kami ini hanya pelaksana.”
Ucapan itu seolah membuka tabir praktik titipan yang selama ini dibantah oleh pejabat. Apakah benar ada jalur belakang yang bisa ditembus lewat pengaruh politik atau jabatan?
Masyarakat juga membocorkan informasi bahwa ada beberapa calon siswa yang lolos melalui titipan Kepala Desa, bahkan diduga telah “diamankan” jauh sebelum masa pendaftaran dibuka. Indikasi ini jelas mencoreng asas keadilan dalam sistem zonasi dan domisili, dan menciptakan ketimpangan hak pendidikan antarwarga.
Saat pendidikan sudah dikomodifikasi sedemikian rupa, maka jangan heran jika kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan negeri terus merosot. Warga berharap pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan Provinsi tidak tutup mata dan segera turun tangan. Jangan sampai sekolah negeri berubah fungsi menjadi arena eksklusif, yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang “punya akses”.
Tim kami akan terus menggali praktik kecurangan ini hingga tuntas. Karena jika pendidikan telah dikuasai oleh sistem titipan, maka anak-anak miskin hanya bisa bermimpi dan sekolah negeri hanyalah panggung sandiwara belaka.
https://bembibredigital.com